Senin, 31 Mei 2010

Ruh Manusia - Human Spirit

Setelah membaca buku “Kunci Tasawuf: Menyingkap Rahasia Kegaiban Hati” oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, ruh manusia itu hanya ada dalam dua keadaan, yaitu keadaan bahagia dan keadaan sengsara. Apabila dalam keadaan sengsara atau menderita, maka muncullah perasaan-perasaan rendah, gelisah, gundah, muram, tidak iklas, mengkritik dan menyalahkan Allah, tidak sabar dan tidak bertawakkal, sehingga lahirlah akhlak buruk, menyekutukan Allah dengan makluk dan akhirnya tidak percaya. Dan apabila sedang merasa senang, maka ia menjadi mangsa ketamakan dan kerakusan serta hawa nafsu kebinatangan. Nafsunya tidak pernah merasa puas, sehingga ia tidak pernah lepas dari kesusahan dan penderitaan.

Jika ketika dalam kesengsaraan, maunya agar kesengsaraan itu dihilangkan. Apabila diberi kesenangan dan kemewahan tidak membuat senang, tetapi malahan membuat tamak, dengki, ingkar dan melakukan dosa serta melupakan penderitaan yang pernah dialami..maka akan kembali ke keadaan semula yaitu kesusahan dan penderitaan yang pernah dialami. Apakah dengan cara dihukum akan menjadi sadar dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan noda. Sebab, kesenangan dan kebahagiaan itu tidak dapat menyelamatkan, sedangkan kesengsaraan dan penderitaan menyelamatkan.

Sekiranya penderitaan, kesusahan dihilangkan, maka berbuat baik, patuh dan ikhlas kepada Allah, maka akan baik dikemudian hari. Oleh karena itu siapa yang menghendaki keselamatan hidup dunia dan akhirat, maka hendaklah bersabar, bertawakal kepada Allah.

Ada sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Atha bin Abbas yang diterimanya dari Abdullah bin Abbas. Diceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata, “Ketika aku menunggang kuda di belakang Nabi Muhammad s.a.w.. beliau bersabda kepadaku, “Wahai anakku, jagalah atau peliharalah kewajibanmu terhadap Allah, niscaya Allah memeliharamu dan peliharalah kewajibamu terhadap Allah, niscaya kamu akan mendapatkan Allah berada di hadapanmu.”

Oleh karena itu, apabila kita meminta mintalah kepada Allah dan apabila memohon memohonlah kepada Nya. Apabila kita mampu melakukan seluruh perintah Allah dengan iklas maka kita harus lakukan. Tetapi jika tidak mampu lebih baik bersabar terhadap sesuatu yang tidak kita sukai,mungkin dibalik itu terdapat kebaikan. Sesungguhnya pertolongan Allah itu datang melalui kesabaran. Dan bersama kesusahan itu terdapat kesenangan. Setiap orang yang beriman hendaklah menerapkan hadits Nabi ini, agar selalu mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat kelak serta menerima rahmat dan kasih sayang Allah.

Jumat, 28 Mei 2010

Menguras Isi Perut Bumi


Bersama anak anak
Di saat matahari mulai menyengat kulit
Kami turuni jalan, lembah, bukit, hutan dan sungai
Hingga sampai di tempat yang banyak isi perut bumi
Yang siap digali hingga ludes

Rasanya ingin mencegah roda roda alat berat
Tapi kenapa ku tak mampu
Hingga kapan isi perut bumi dikuras
Sampai tak bersisa
Kenapa tidak disisakan untuk anak cucu?
Apakah pemorosessan isi perut bumi seperti membalik tangan?
Mulai kapan?
Tidak semalam
Bertahun tahun
Bahkan jutaan tahun
Baru terbentuk
Menjadi timbunnan batu bara

Rahasia Qolbu

Setelah lapar ada kenyang. Setelah haus ada kepuasan. Setelah begadang ada tidur pulas. Setelah sakit ada kesembuhan. Setiap yang hilang pasti ketemu. Dalam kesulitan ada kemudahan. Setiap tangisan akan berujung dengan senyuman.

Kobaran api tidak mampu membakar nabi Ibrahim, “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim“ {QS. Al – Anbiya : 69}

Lautan luas tak akan menenggelamkan Nabi Musa, “Sekali kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya ,Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku“ {QS. Asy’ ara”: 62}

Allah hendak menerangkan [ hukum syariat kepadamu dan menunjukimu kepada jalan jalan orang sebelum kamu (para nabi) dan menerima taubatmu. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana {Q.S An – Nisa: 26 – 27}

Mudah-mudahan jalan keluar terbuka, dan kita bisa mengobati jiwa kita dengan doa. Janganlah putus asa ketika keraguan menggenggam kita. Marilah kita melakukan apa yang benar, dan tinggalkan dari semua yang tidak berguna. Dengan berdoa dan bersabar menjadi sumber kekuatan untuk mencapai kemuliaan.

A Journey to The Land Clearing Area


Malam ini teramat gulita. Pekat meraba. Udara dingin seperti membeku, semua pada tidur. Tidur untuk masa depan. Kedua anakku tidur juga. Dengan mata terpejam. Mata itu seperti sebuah sumur. Sumur yang sejuk dan bening. Dari mata itu udara menjadi sejuk . mencipta sungai-sungai di malam hari. Rasa sejuk menggenang di dada. Angin malam membawa kesejukan. Yang melintasi kebun, sungai, sawah, dan kebaikan. Menyebar keseluruh sanubari. Putih senyap selembut doa-doa yang tak pernah putus.

Kutinggalkan sementara kedua anakku. Kusambut pagi dalam perjalannan. Aku bisu, aku termanggu. Kuberpikir, apakah mimpi-mimpi dapat diulang berkali-kali? Mataharipun menjilati sisa mimpiku yang masih ada. Yang kutemui di dalam mimpi adalah taman bunga mawar, mata dan purnama. Yang tetes embun pertamanya menyentuh kelopak bunga mawar. Berkatilah bunga mawar mekar itu. Ada bundaran terang bercahaya di langit biru. Menyingkap kabut malam. Bersama udara yang penuh wangi bunga mawar.

Cahaya pagi menyapa penuh keramahan dan kelembutan. Langit biru cemerlang digores semburat merah dilengkung langit. Tempat munculnya matahari yang selalu rutin dan teratur menyapa kita. Merupakan hadiah alam yang harus kita jaga agar seimbang.

Siang datang. Ada sepasukan burung terbang di awan. Menuju rimbunnya pohon. Tapi kenapa tidak jadi? Apakah pindah ke sarang yang lain? Apakah dahan, ranting dan daun tidak merana? Lalu menjadi luruh dan mati karena kesepian. Tak ada kicau burung. Apakah semalam baru hujan? Atau ada angin ribut? Adakah yang murka?

Petang pun datang. Dengan kesibukan di pantai. Kita akan berlayar menuju pantai seberang. Di pantai yang tak bertepi itu senyum-Mu diam, mendengarkan, suara nyanyianku yang tak berirama, seperti ombak, bebas dari ikatan kata.

Apakah belum sampai? Masih adakah pekerjaan yang belum selesai? O, ternyata malam akan turun. Menutup pantai dan mentari kembali ke peraduan. Burung laut pun kembali ke sarangnya. Dan kapal pun hilang ditelan malam.

Kenapa laut kesepian? Padahal sudah dipecahkan kicauan burung. Pasir di tepi pantai dengan gembira menerima kilau emas matahari. Kami terus bergegas, berjalan terburu-buru. Kenapa tidak mendendangkan sebuah lagu? Bersama kegembiraan alam. Kami menuju hutan untuk membuat hamparan kebun yang menghijau subur penghasil minyak nabati. Kami tidak berkata-kata, juga tidak tersenyum. Kami tak menikmati jalan lagi. Kami terburu-buru menghindari matahari yang semakin merayap ke puncak, melintasi daun-daun yang menguning, melayang-layang dibawa angin hutan.

Kami sudah sampai. Terdengar suara nyanyian di depan pondok. Nyanyian itu sampai di sudut telingaku. Siapakah yang berdiri di depan pondok itu? Tetapi kenapa nyanyian itu lama kelamaan menjadi kesedihan? Kesedihan yang bercampur dengan kepiluan mengaduk-aduk mata hati.

Saat terakhir pembersihan. Ada satu pohon berdiri sendirian. Hanya ditemani dahan, ranting, dan daun. Sepertinya dalam kesepian ia berdiri. Siapa yang datang dibawah ranting sepinya? Pohon itu tidak berani bergerak walau diterpa angin, hujan. Pohon itu tidak tau bagaimana cara menjaga agar tidak rusak. Sepertinya ia takut dalam bergerak. Kenapa yang berteduh tak jua pergi? Adakah yang tega menjamah pohon itu? Bagi pohon itu bayangan maut sepertinya selalu datang, begitu saja dari langit tak terjangkau. Di langit-langit itu, bayangan sangat angkuh dan datar bagai raksasa. Gema cengkeraman tangan-tangan besi akan selalu muncul di setiap saat, datang bagai angin pergi tanpa belas kasih.

Yang bagaimanakah cinta lingkungan itu? Atau hanya menggalihkan fungsi. Dari hutan tersier menjadi hamparan kebun yang menghijau subur penghasil minyak nabati.

Bulan muncul mengambang di langit. Memancar aura sepuh kuning keemasan. Pada gelombang awan hitam. Dan malampun semakin pekat.

Kamis, 27 Mei 2010

Hujan

Musim hujan

Hujan turun tak kenal waktu
Kadang kepagian
Terkadang sore hari
Yang disebar oleh langit merata ke bumi
Udara terasa lebih dingin
Masuk ke dalam pori-pori kulit
Bulu tangan berdiri
Menggigilkan tengkuk

Hujan turun seperti tirai benang panjang
Tidak berhenti
Ujung-ujung hujan menari di bumi
Dan langitpun seperti cendawan raksasa yang di tutup awan pekat



Memanjat hujan

Hujan datang
Jalannan basah
Pohon-pohon di pinggir jalan
Meliuk-liuk diterpa hujan
Rintik hujan seperti helaian benang
Yang bisa dirajut menjadi selendang
Tanah dan hujan membuat tarian
Bersama angin sepoi dan helaian hujan
Melilit bukit
Kupanjat hujan
Menuju langit

Selasa, 25 Mei 2010

Maha Mencukupi

Pulang dari panti asuhan saya bertanya-tanya, seberapa banyak yang diperlukan untuk kebutuhan penghuni panti? Saya hampiri salah satu anak yang kelihatannya lebih cerdas. Saya tanya,
“Nak, anak siapakah kamu hai bocah manis?”
“Aku anak yatim piatu, aku kehilangan Ayah, Ibuku.”
“Apakah kamu tak mau diasuh orang tua yang tidak memiliki anak?”
Si anak menjawab, “Setiap orang yang mau mengambil aku, aku selalu bertanya. Apakah Bapak dan Ibu akan memberi makan ketika aku lapar?” bapak itu menjawab,”Ya tentu.”
“Apakah engkau akan memberiku minum ketika aku haus.”
“ Ya, tentu.”
“Apakah engkau memberi pakaian ketika aku telanjang?”
“ Ya.”
“ Apakah engkau akan menghidupkanku ketika aku sudah mati?”
“ O ini tak mungkin nak.”
Maka si anak pun menjawab, “ Kalau begitu tinggalkan aku bersama Dzat yang telah menciptakan aku, memberi rizki, mematikanku, kemudian menghidupkanku kembali.”
Saya pikir benar juga si anak kecil ini. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah pasti Dia mencukupi.

Pantai


Dipantai yang tak bertepi
Tampak langit seperti mengurung bumi
Ada ombak menggulung pantai

Di pantai yang tak bertepi
Kanak-kanak menari-nari bersorak riuh gembira
Kanak-kanak mendirikan rumah pasir bersama karang
Kanak-kanak menganyam kapal dari daun kering
Dan dilayarkan ke laut tak bertepi
Kanak-kanak tak melemparkan jala
Pencari mutiara menyelam dari kapalnya
Kanak-kanak malah mengumpulkan batu lalu di lempar kembali ke laut

Kanak-kanak tak mencari harta terpendam
Kanak-kanak tak bisa melempar jala
Kanak-kanak berenang diangkat ombak
Mereka tertawa bersama senyuman pantai
Ombak melagukan nyanyian
Untuk kanak-kanak,
Seperti ibu yang mangayunkan buaian anaknya

Di pantai tak bertepi
Kanak-kanak berkumpul
Ada badai dilangit
Menenggelamkan kapal pencuri ikan tanpa bekas
Maut mengintai
Di pantai yang tak bertepi
Kanak-kanak tetap ramai berkumpul di pantai tanpa batas

Minggu, 23 Mei 2010

Kemilau Intan Cempaka - TRADITIONAL DIAMOND DIGGING

Ketika melihat pameran perhiasan, maupun koleksi pribadi, terutama yang berbau bau ‘intan’. Apakah pernah membayangkan di balik keindahan, kegemerlapan intan tersebut, tersimpan perjuangan yang teramat panjang. Apakah juga pernah terpikir dari mana asal intan itu, siapa yang mengambil dan bagai mana cara mengambil intan tersebut.

Intan yang kita buru adalah intan yang berada di Kalimantan Selatan. Tepatnya di kecamatan Cempaka, Banjarbaru kota. Apabila dari Bandara Udara Samsudin Noor, bisa memakan waktu sekitar 45 menit. Menurut topografi, ketinggian Cempaka antara 50 -150 meter di atas permukaan laut. Maka dari itu, kawasan pendulangan intan dikelilingi bukit bukit.

Kawasan pendulangan intan tradisional di kecamatan Cempaka, banyak tersebar di kelurahan Sungai Tiung. Kelurahan ini memiliki dua kawasan pendulangan intan tradisional yakni; Pumpung dan Ujung Murung. Pumpung terkenal karena penemuan intan sebesar telur ayam dengan berat 167 karat ditemukan pada tahun 1965. Intan tersebut diberi nama Trisakti.

Sejarah Intan Trisakti. Sebelum tahun 1965, di Cempaka tidak ada yang istimewa mayoritas penduduknya bertani, tetapi ada juga yang berdagang, berkebun dan mendulang (tidak begitu dominan). Namun suasana Cempaka mendadak berubah ketika Matsam dkk, 26 Agustus 1965 menemukan galuh (intan) dengan berat 167 karat.

Penemuan intan yang konon terbesar di dunia pada tahun itu mendapatkan perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Bukan hanya dari Cempaka ataupun kota, melainkan dikenal di seluruh dunia. Bahkan berdasarkan hasil penelitian, kandungan mineral ternyata kualitasnya sangat baik. Secara tiba tiba penemuan itu memberi ekses bagi Cempaka. Oleh sebab itu berdatanganlah para pendulang dari luar daerah Cempaka untuk ikut mengadu nasib mencari intan nan mempesona. Cempaka pun ramai menjadi buah bibir dan seakan tidak ada habisnya. Intan memang menjadi magnet yang luar biasa bagi siapa saja.

Selain itu, juga menjanjikan materi bagi penemu intan dan memberikan harapan besar untuk kenaikan status sosial, wibawa, serta gengsi pada masyarakat. Itulah yang dialami Matsam dkk. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah,mereka diberangkatkan haji lengkap dengan akomodasinya. Ketika sampai di Cempaka, mereka disambut meriah di sepanjang jalan bahkan diarak keliling kampung. Sebagai imbalanya , intan dibawa ke Jakarta. Katanya untuk menjadi milik Negara dan sebagai penggantinya, Matsam dkk dijanjikan mendapat semacam jaminan sosial dari pemerintah saat itu. Sayangnya, sampai sekarang keberdaan intan Trisakti tidak diketahui kabarnya, dimana, dan ada di tangan siapa.

Seiring dengan waktu, jaminan sosial yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, sehingga Matsam dkk pun harus rela kembali mendulang, karena dapur mereka harus terus mengepul. Penyebab utamanya adalah rendahnya pendidikan dan ketidak berdayaan masyarakat kecil untuk menuntut haknya membuat mereka jadi termarjinalkan. Meskipun demikian, masyarakat tidak mau introspeksi dari pengalaman tersebut. Kemilau intan membuat mereka lebih mementingkan si intan ketimbang pendidikan. Sungguh orientasi nilai budaya yang hanya dilihat sesaat saja.

Seakan melihat potensi yang tersembunyi, pemerintah daerah kemudian menjadikan pendulangan Cempaka sebagai salah satu obyek wisata bagi Kalimantan Selatan. Hal ini membuat semakin ramai Cempaka. Orang tidak hanya datang untuk mengadu nasib, tetapi untuk melihat begaimana cara mendulang intan. Menariknya, oleh gubernur Kalimantan Selatan. Gusti Hasan Aman didirikan Monumen Intan Trisakti di Cempaka untuk mengenang penemuan intan tersebut. Monumen yang diresmikan 11 November 1997 itu seakan menjadi saksi bisu bagaimana rakusnya manusia mempertahankan hidup.

Bagi pemerintah daerah, intan Trisakti adalah kebanggaan, karena dengan itu menjadi terkenal seantero dunia. Tetapi bagi para pendulang, monument Trisakti adalah monument kesedihan. Monumen diterlantarkan pendulang, mereka masih tetap berjibaku dengan lumpur sepanjang waktu. Bahkan, merupakan monumen kelalaian pemerintah yang tidak tanggap menggurus penyelundupan intan terbesar sepanjang sejarah itu.

Para pencari intan ini disebut sebagai pendulang. Bagi masyarakat Cempaka, mendulang merupakan pilihan hidup, karena menjadi pendulang hanya bermodalkan harapan. Apa jadinya apabila harapan sudah di depan mata kemudian hilang begitu saja? Tragedi itu pasti akan menimbulkan trauma bagi masa depan profesi pendulang intan.
Contohnya, anak-anak (terutama laki-laki), pendulang kecil ini kebanyakan masih duduk di bangku sekolah dasar kira-kira kelas 4, Sungai Tiung, Cempaka, kebanyakan bercita-cita menjadi pembelantik (pedagang perantara dari tangan pendulang intan ke pedagang lainnya). Pekerjaan membelantik dianggap lebih mempunyai masa depan dibandingkan dengan mendulang, karena selama ini para pendulang tidak ada yang bisa kaya, walaupun penemuannya menyilaukan dunia. Untuk itu anak-anak bersemangat mendulang dengan harapan mendapatkan rezeki nomplok untuk modal menjadi pembelantik.

Menjadi pendulang yang penghasilannya kecil juga sangat menguras tenaga. Mulai dari pagi hingga sore hari tubuh terpapar sinar matahari. Menurut para pendulang, apabila tidak terbiasa mendulang, sekujur tubuh akan terasa remuk dan pinggang pegal-pegal. Namun, mengapa tetap saja ada pendulang? bukankah sebagai petani lebih juga menjanjikan? Kata para pendulang yang dewasa, bertani memang mendapatkan penghasilan tetap, sedangkan mendulang biarpun tidak berpenghasilan tetap apabila beruntung akan mendapat intan yang tak terduga. Bagi mereka mendulang intan sudah mendarah daging. Mulai dari kakek neneknya, sehingga kebiasaan itu sulit diubah. Menurut mereka mendulang tidak memerlukan ijazah tinggi, tidak ada tes, tidak perlu mengisi biodata, dan tidak perlu takut ditolak. Karena syarat utamanya adalah sehat jasmani rohani. Pendidikan bukan hal yang utama, sehingga banyak dari mereka hanya lulusan SD, bahkan ada yang tidak lulus.

Menurut mereka mendulang dapat menghidupi keluarga. Jika mujur bisa mendapatkan intan, maka bisa menunaikan ibadah haji. Naiklah status sosial di masyarakat. Tanpa disadari, pendidikan yang dilupakan justru menjadi bumerang dalam mengelola hasil penjualan intan. Tidak mengherankan jika ada pendulang yang pagi miskin, sorenya menjadi kaya, dan besoknya bisa miskin lagi.

Kehidupan pendulang dimulai saat mereka bergabung menjadi anggota kelompoknya. Pagi pagi kurang lebih pukul 08.00 WITA mereka berangkat menuju pendulangan. Ketika di sana , tidak langsung bekerja, tetapi mereka singgah ke warung terlebih dahulu. Untuk yang satu ini mereka gratis, karena yang membayar adalah tetua luang (ketua kelompok pendulang). Penjaga warung mencatat transaksi dalam buku khusus. Ketika istirahat siang, mereka kembali ke warung dan makan minum sepuasnya, tidak lupa rokok dan wadai (panganan kecil). Jika cepat selesai, maka sore hari bisa pulang, jika tidak sampai malam, maka akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan oleh tetua luang.
Jika tidak mendapatkan intan hari itu, maka para pendulang tidak perlu khawatir kelaparan, karena tetua luang sangat baik hati memberikan pinjaman bagi kebutuhan keluarga. Makan minum selama mendulang tidak perlu khawatir, karena tetap mendapat jatah.
Klimaksnya ketika mendapat intan, pendulang tidak langsung mendapat bagian, karena harus dipotong sana sini. Seandainya dari intan yang diketemukan terjual 100 juta, maka para pendulang hanya mendapatkan bagian bersih 6 juta. Hal ini diketahui dari sistem pembagian tidak tertulis yang menempatkan para pendulang pada posisi tawar rendah. Harga jual dibagi dua dengan rincian 50 juta untuk pemilik modal dan 50 juta dibagi jumlah pendulang. Pembagian untuk pendulangpun tidak langsung diterima, karena harus dikurangi biaya makan minum. Sisa bersih hanya sekitar 6 juta. Paling lama satu minggu mereka dapat menikmati uang tersebut di zaman yang serba mahal ini.

Proses pendulangan intan dilakukan warga tiap hari, dari pagi hingga petang. Sedangkan, pada hari Jum’at dan hari hari besar Islam, mereka tidak mendulang intan. Selain itu, hal hal yang bersifat tak terduga, seperti longsor, banjir angin ribut. Hari hari tersebut menjadi hari libur mereka.
Dari tempat mereka berkumpul, mereka berjalan beriringan dengan membawa peralatan peralatan mendulang. Peralatan utamanya adalah lenggangan (semacam caping atau tangguk besar terbuat dari kayu). Alat ini digunakan dengan cara melenggangkan (mengayak air) di atas permukaan air untuk memisahkan pasir dan tanah dengan butiran intan.
Mereka memulai pekerjaan dengan menembak lubang galian (diperkirakan memiliki ke dalaman antara 10 sampai dengan 50 meter) dengan cara menyemprotkan air lewat pipa. Materi tanah dan batu yang terkikis di dasar lubang mereka angkat dengan cara menyedotnya menggunakan mesin. Penyedotan dilakukan oleh 3 sampai 5 orang. Materi yang tersedot disaring disebuah bangunan berbentuk menara yang diletakan di bibir lubang galian. Hasil penyaringan itulah, mereka kumpulkan dalam sebuah kolam. Kemudian dimulailah kegiatan melenggang.
Para pendulang intan bekerja secara berkelompok. Satu lubang galian dikerjakan oleh satu atau dua kelompok. Mereka menganut system abain, yaitu system bagi hasil antara pemilik lahan, pemilik mesin sedot, penggali lubang, dan pelenggang. Satu prinsip yang mereka pegang erat bersama adalah kejujuran.
Sementara lewat tengah hari, biasanya para pendulang intan dan pembelantik menawarkan intan mentah pada wisatawan yang datang. Beberapa warga menawarkan berbagai ukuran intan mentah, dengan mempersilakan calon pembeli memeriksanya lewat alat bernama kekeran. Bagi mereka yang ingin memiliki intan mentah tersebut, jual belipun bisa dilakukan langsung dengan mereka. Dengan harga yang relative murah. Akhirnya intan tersebut menjadi oleh oleh yang bisa dibawa pulang.

Waktu terus berlalu, kehidupan masyarakat Cempaka terus berlangsung. Begitu pula pendulangan intan terus dilakukan. Sudah tak terhitung ribuan, bahkan mungkin jutaan butir intan digali dari perut bumi Cempaka nan eksotis. Tidak terhitung juga korban cidera hingga meninggal gunia akibat mendulang. Tetapikehidupan tetap kehidupan yang terus berlangsung walaupun manusianya berganti generasi.

Kini kearifan budaya mendulang sudah tidak ada lagi, diganti dengan deru mesin sedot yang mengaum sangar menguras isi perut bumi Cempaka. Lubang lubang besar sisa penggalian ditinggalkan begitu saja menganga. Suasana asri dengan hamparan sawah, sungai nan jernih, dan nyanyian burung sudah tidak ada lagi. Tinggallah cerita tentang keindahan alam, kesejukan udara, dan para ibu dengan anaknya yang mencuci pakaian di sungai. Inilah ironi cerita tentang Kemilau Intan Cempaka.

Sabtu, 22 Mei 2010

KISAH SEHELAI SASIRANGAN (Kain khas Banjar)

Banjar? Tau soto Banjar? Wadai (kue) bingka? Lupakan dulu makanan yang lezat, di kota Seribu Sungai, alias Kalimantan Selatan. Mari kita jelajahi kota, untuk mengetahui asal usul Kain Sasirangan.

Melihat kain sasirangan yang berwarna warni itu, rasanya penasaran ingin mengetahui seberapa panjang perjalannan yang ditempuh, dan ada apa di balik motif-motif kain sasirangan yang indah itu.

Konon menurut cerita, kain sasirangan itu di kenal dengan nama’ Kain Pamitan’. Istilah pamitan, singkatan dari parmintaan (permintaan), maksudnya adalah selembar kain putih yang diberi warna tertentu dengan motif tertentu, atas permintaan seseorang yang berobat kepada seorang pengrajin kain pamintan. Dengan menggunakan kain pamintan tersebut, maka diharapkan penyakitnya akan menjadi sembuh.

Kain pamintan tersebut berfungsi sebagai sarana pengobatan, ( petunjuk tabib), seperti sakit perut, sakit kepala, bisul, sawan, badan panas dingin, kapingitan, bahkan sampai pada penyakit gangguan jiwa, serta sakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus atau gangguan roh jahat.

Apabila penyakit yang diderita tidak kunjung sembuh, atau menjadi kronis.

Maka pengobatan alternatif (non medis) ini disebut “batatamba” dengan mempergunakan kain pamintan, yang dipakaikan secara terus menerus sampai sembuh.

Salah satu bentuk terapi yang dilakukan (petunjuk tabib), adalah kain pamintan tersebut diikatkan di kepala penderita bagi yang sakit kepala, yang dipakaikan pada waktu senja hanya sapanginang (selama makan sirih/sesaat) untuk yang menderita sakit kronis.

Apabila kain pamintan diselimutkan pada seluruh badan pada waktu tidur malam hari, diperuntukan bagi yang berpenyakit demam. Kadang kadang kain pamintan tersebut disarungkan saja.

Anak anak yang sering sakit, seperti kapidaraan (kena sapa roh halus), kapuhunan (dapat celaka/dapat bencana) dan selalu menangis, maka dibuatkan ayunan dari kain pamintan, yang disebut ayunan laki untuk anak laki laki, dan ayunan bini untuk anak perempuan.

Kain pamintan tersebut juga dipergunakan sebagai laung ikat kepala bagi penderita gangguan jiwa atau sakit karena gangguan makhluk halus yang dikenal dengan nama laung laki, untuk laki laki, dan laung bini untuk perempuan.

Sebagai proses pengobatan, (nasehat tabib), maka proses pembuatan kain pamintan, dilaksanakan agak tertutup yang artinya tidak bisa dilihat umum.

Kain pamitan dikenal di Kalimantan Selatan sekitar abad ke XVI.

Selain sebagai pengobatan, kain sasirangan merupakan salah satu kain adat khas suku Banjar. Menurut mitos, pada abad ke XVI. Konon patih kerajaan, “Lambung Mangkurat” bersemadi 40 hari di atas rakit di sungai, untuk mencari pendamping. Di akhir semadi, muncul seorang putri yang bersedia untuk dinikahi. Syaratnya sang patih harus membuatkan kain kuning keemasan berupa kain ‘cacalupan’ yang dikerjakan oleh 40 gadis dalam 40 hari. Kain ‘cacalupan’ (kain yang dicelup setelah dijelujur) ini, menjadi dasar cara pembuatan kain sasirangan.

Cara pembuatan kain sasirangan. Memiliki cara pewarnaan yang sama dengan batik, yaitu dengan mencelup rintang. Perbedaannya terletak pada bahan dan pewarna. Batik menggunakan malam, sedangkan sasirangan menggunakan bahan pewarna alami. Untuk warna kuning, berasal dari umbi kunyit atau temulawak. Merah, berasal dari zat gambir, buah mengkudu, kesumba atau lombok merah. Hijau, berasal dari daun purdak atau jahe. Hitam, berasal dari kabuau atau uar. Ungu, berasal dari biji gandaria, atau buah kemiri. Coklat, berasal dari kulit buah rambutan. Dari keenam warna pokok tersebut apabila dicampur dengan berbagai rempah rempah, maka dapat digunakan sebagai pengawet warna. Untuk menajamkan warna atau membuat warna menjadi lebih muda, maka ditambahkan salah satu bahan seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka atau terasi dll.

Sebelum diwarnai, mula mula kain putih di lukis motif yang sudah dipola, lalu dijelujur atau dijahit, kemudian diwarnai. Setelah pewarnaan, benang dilepas dari jahitan. Dicuci lalu dikeringkan, kemudian disetrika, maka jadilah sehelai kain sasirangan.

Motif motif sasirangan ada yang digunakan sebagai penolak penyakit dan pakaian harian.

Motif-motif yang digunakan sebagai penolak penyakit yang diderita oleh si sakit. Antara lain:

  1. Motif naga balimbur laki bini, motif ini berfungsi untuk mengobati sakit kepala, yang menusuk nusuk.
  2. Motif kangkung kaombakan, motif ini berfungsi untuk mengobati rasa bergoyang goyang di kepala.
  3. Motif ombak sinapur karang, motif ini berfungsi untuk mengobati rasa hanyut dan bergelombang di kepala.
  4. Motif ular lidi, motif ini berfungsi untuk mengobati sakit kepala disertai rasa menusuk nusuk di mata.
  5. Motif pancar matahari, motif ini berfungsi untuk mengobati sakit di kepala apabila hari sudah siang.
  6. Motif kumbang bernaung di bawah pohon, motif ini berfungsi untuk mengobati sakit gila atau kurang ingatan akibat diperbuat orang dengan cara halus (ghaib).
  7. Motif wanita menangis di bawah pohon, motif ini berfungsi untuk mengobati stress.
  8. Motif teratai dalam taman, motif ini berfungsi untuk mengobati sakit gila.
  9. Motif naga di langit (pelangi), motif ini berfungsi untuk mengobati penyakit tercebur di air (tenggelam).
  10. Motif megawati, merupakan motif yang paling jarang dibuat dan apabila dibuat lamanya adalah 2 hari, 2 malam, motif ini berfungsi untuk mengobati penyakit gila tujuh turunan (gila sekeluarga).

Motif sasirangan yang dipakai untuk pakaian harian, motifnya antara lain: bunga cengkeh. Dara menginang. Daun jaruju. Turu dayang. Hiris pudak. Banawati. Naga balimbur. Bayam raja. Gigi haruan tampuk manggis. Dara mendung. Awan bairing. Tampuk manggis. Melati. Mawar. Dan lain lain.

Kain sasirangan juga memiliki motif ‘jajumputan’ seperti di jawa (jumputan) dan Sumatra (pelangi).

Kamis, 20 Mei 2010

Menyulam

Semburat matahari pagi

Masih melembut menyepuh dedaunan

Tetes embun pagi perlahan menguap bersama datangnya mentari


Aku menata

Helai helai benang,

Pita pita

Yang berwarna warni

Pada tempat yang berbeda

Bersama jarum dan gunting


Menyulam selalu menyenangkan

Bisa menjadi tukang sulap

Mampu mengubah

Selembar kain polos

Menjadi kebun anggur

Taman mawar nan indah

Hamparan sawah yang menghijau

Kanak kanak yang selalu ceria

Remaja yang cerah meraih cita


Di kala menyulam

Bahagia selalu datang


Apabila kesedihan datang

Aku akan menyulam

Hatiku yang sakit,

Pasti akan sembuh

Apabila kebahagiaanku robek dan koyak

Akan kusulam bunga mawar yang tak berduri

Bersama kilau kilau embun pagi

Agar hatiku tenteram


Aku menyulam tiap hari

Selalu dan selalu menyulam

Bersama

Kain,

Jarum,

Benang benang

Dan pita pita

Ajaib

Benang dan pita sepertinya tak pernah habis

Terkadang

Jarum itu

Memancarkan cahaya

Lembut ketika kupegang

Yang bisa menyulam kebahagiaanku