Jumat, 09 Juli 2010

Perempuan Perih

Seorang perempuan bermata basah tertegun, dengan setangkai mawar di tangan, menatap ombak. Ombak selalu pulang ke pantai. Apakah ia mengerti? Apakah ia paham, bahwa membuat istana dari pasir itu mustahil? Karena ombak selalu dating, ombak selalu pergi dan pantai begitu setia dan sabar menerima ombak.

Perempuan itu telah meninggalkan pulau di masa kecilnya. Ia menuju pulau nan jauh, sebuah pulau yang menghijau, penuh bukit mineral bumi, dan beribu sungai mengular di dalamnya. Perempuan itu telah datang di pulaunya, tenyata yang dituju tetap sibuk dengan dirinya sendiri. Sudah berapa lama ia menunggu lelakinya? Ia pandangi dari kejauhan tampak perahu laju dari hilir ke hulu, ke mana lelakinya pergi?

Seorang perempuan bermata basah tertegun, dengan setangkai mawar di tangan, menatap laut. Tampak cahaya keemasan, bersama pagi yang menyapu pantai. Membuat pasir pantai berubah menjadi keemasan. Di saat lidah ombak kembali surut ke laut tampak onggokan batu karang. Batu karang sepertinya berubah-ubah. Kadang seperti perahu, terkadang berubah menjadi seperti orang termenung. Tetapi tetap saja teronggok sebagai batu karang. Sejak kapan? Semalam, satu tahun, atau beribu tahun yang lalu? Seperti diri lelakinya, yang entah sudah berapa lama tidak kembali. Kenapa tak kau pandang, walaupun dengan sebelah mata? Langkah perempuan itu timpang. Hingga tubuhnya terjerembab, tanpa ada orang menolong. Apalah artinya sabar, jika dibatasi oleh waktu? Seberapa kuat perempuan itu merawat ingatannya tentang lelaki yang telah meninggalkanya. Apakah bahtera rumah tangganya akan karam? Kelihatanya susah untuk dilayarkan ke segenap pelabuhan. Adakah jalan menuju ombak? Apakah ada payung yang tak berujung? Kenapa kau tinggalkan aku? Tampak kabut perkasa yang berkuasa menjaring laut. Lidah ombak berlumpur menjilati pantai. Tangan perempuan itu menggapai-gapai, kenapa tak sampai? Hatinya luka tak terlindungi. Laut terus berombak. Perahu yamg ditumpangi hampir karam. Kemana nahkodanya? Apakah harus menunggu perahu itu sampai tinggal kepingan kayu.

Seorang perempuan bermata basah tertegun, dengan setangkai mawar di tangan, menatap laut. Dia pandangi pantai yang tak bertepi itu, di sana tampak anak-anak yang berkumpul menari-nari bersorak riuh gembira. Ada yang bermain sepak bola dengan bola yang terbuat dari botol mineral bekas. Anak-anak mendirikan rumah dari pasir. Ada yang membuat kapal dari sehelai daun kering yang dilayarkan ke tengah pantai. Kenapa anak-anak tak melempar jala? Anak-anak malah mengumpulkan batu, lalu kembali dilempar ke laut. Tampak pencari mutiara menyelam dari kapalnya. Anak-anak tidak terganggu. Anak-anak berlarian ke tengah laut, berenang diangkat ombak, mereka tertawa-tawa bersama senyuman pantai. Ombak melagukan nyanyian seperti para ibu yang mengayun buaian bayinya. Jangan biarkan anak-anak berhenti bermain. Agar aku bahagia, agar tak teringat diri lelakinya.

Apakah perlu bercermin dari rasa cemas dan getas? Adakah kau menungguku? Atau aku harus menyusuri sendirian bersama jejak-jejak sepi, sehingga kaki dan hatiku penuh dengan duri. Kenapa kau tinggalkan aku sendiri? Padahal telah kuberikan jiwaku padanya. Aku sapukan keseluruh rohnya. Rohnya yang dulu putih, sekarang sedikit terbakar. Sampai terlihat guratan dipipimu yang menyerupai guratan dawai gitar yang dipetik di tengah pekatnya malam. Lelakiku, apakah kau hanya mimpiku? Tapi kenapa terlalu nyata bagi diriku? Apakah lelakiku masih menjadi bintang di langit yang paling atas?

Seorang perempuan bermata basah tertegun, dengan setangkai mawar di tangan menatap laut. Adakah sinar matahari yang abadi? Apakah kalau malam tiba sinar matahari tak meredup? Kapan bintang dan rembulan mengganti matahari? Di saat malam sirna, bulan bersama bintang menjadi cemerlang. Kenapa hatiku selalu muram? Seperti malam-malam tanpa bintang dan bulan yang meredup.Sunyi itu datang mengetuk pintu dan jendela sangat mengiba-iba. Seperti langkah berat seseorang yang terluka. Apakah kau dengar bunyi-bunyian ganjil itu? Siapa yang memanggil? Adakah yang melihat deritaku? Adakah yang dapat membalut luluh? Siapa juga yang dapat membasuh luka? Siapa dapat meredam gejolak? Siapa menggores di langit biru? Siapa meretas di awan? Lalu siapa yang mengkristal di kabut itu? Tuhanku, dalam termanggu aku menyebut namaMu.

Seorang perempuan bermata basah tertegun, dengan setangkai mawar di tangan menatap ombak. Ia masih juga termanggu di bibir pantai. Purnama di langit tak dihiraukanya. Dia bermimpi, apakah impianku terbentuk dari laut? Bersama keindahan komunitas laut. Apabila malam telah datang zooplankton melayang bercahaya di permukaan laut. Seperti kunang-kunang melayang lembut di antara batang dan akar pohon bakau yang saling berpaut. Dari manakah kunang-kunang berasal? Mungkin dari serpihan sayap peri yang menggeliat di waktu tidur yang mengibaskan sayapnya. Lalu memercikkan cahaya-cahaya yang melayang. Menyerupai cahaya lampu, para nelayan yang mengambang di laut di tengah nasibnya yang buram. Nelayan di laut apakah memiliki mimpi juga? Apakah impian itu bermakna? Sepertinya tidak, karena mereka tahu, bahwa tubuhnya adalah milik laut, maka pasrah saja, apabila direngkuh laut. Bagi nelayan, laut beku, laut dingin, laut hangat tak ada bedanya. Setelah ditiup angin yang bergerak seperti ada teriakan penari mistik. Dan jantung pun berhenti. Apakah nelayan pernah melihat secara detail? Bahwa di dalam laut menyimpan selain ikan, ada batu karang, bunga api, ubur-ubur. Coba pejamkan mata dan segenap inderamu. Akan terlihat, bahwa laut adalah dirimu sendiri. Hatimu laut, apakah hatimu juga seluas samudera?

Cakrawala sudah tak bisa menawarkan sinar yang terang. Hanya garis lengkung yang masih ada. Maka kesunyiaan akan mulai bicara, kesunyian akan bicara terus. Ia akan menulis tentang kesunyian, ia menatap terus kesunyian sampai pusat dari inti kesunyian. Gelap napas pun mewarnai kesunyian. Kesunyian membungkus jiwa, kesunyian membungkus bumi. Kesunyian menginjak bumi agar tenggelam.

Seorang perempuan bermata basah tertegun, dengan setangkai mawar di tangan. Menatap ombak. Ia ingin kembali kepangkuanNya. Ia terombang-ambing ombak. Semua terasa hilang. Asing dengan diri sendiri. Jauh dari kesejatian hidup. Bersama dengan jiwanya yang koyak ia merindukan malam yang anggun dalam sinar bulan purnama yang penuh bintang.
Sampailah ia di sebuah tempat, tetapi kenapa masih dengan tangisnya? Ia tetap menangis. Apakah lelakinya tahu? Kalau perempuan itu bertanya, siapakah aku ini? Tubuhku rapuh dan setengah tua. Dia terduduk kaku. Adakah yang menyihirnya? Kenapa ia menjadi rapuh dan penuh luka? Dalam jeda tangisnya ia berlari membawa obor. Setelah letih dan obornya mati terhempas ombak. Tampak tirai gelap mengambang, menyelimutinya. Bunga mawar yang selalu ia pegang jatuh menjuntai di permukaan laut. Apakah ia telah menemukan jalan kembali kepadaNya? Jalan pulang menuju ke tempat kekasih hatiNya? Di tempat mana langit biru lembut dan halus seperti permukaan agar-agar. Pohon-pohon dengan daun kehijauan ditimpa butiran embun yang bening seperti intan. Hingga segalanya tampak berkilau. Ada hamparan rumput hijau bagai beludru. Tampak bayang-bayang putih memanjang ditiup angin yang bila disentuh dengan ujung jemari seperti menyentuh kelembutan sutra berkibaran. Tampak gugusan awan putih bersih yang tiada bertepian, ada yang berlayar atas langit. Semua terasa sejuk indah yang tak pernah habis.