Minggu, 23 Mei 2010

Kemilau Intan Cempaka - TRADITIONAL DIAMOND DIGGING

Ketika melihat pameran perhiasan, maupun koleksi pribadi, terutama yang berbau bau ‘intan’. Apakah pernah membayangkan di balik keindahan, kegemerlapan intan tersebut, tersimpan perjuangan yang teramat panjang. Apakah juga pernah terpikir dari mana asal intan itu, siapa yang mengambil dan bagai mana cara mengambil intan tersebut.

Intan yang kita buru adalah intan yang berada di Kalimantan Selatan. Tepatnya di kecamatan Cempaka, Banjarbaru kota. Apabila dari Bandara Udara Samsudin Noor, bisa memakan waktu sekitar 45 menit. Menurut topografi, ketinggian Cempaka antara 50 -150 meter di atas permukaan laut. Maka dari itu, kawasan pendulangan intan dikelilingi bukit bukit.

Kawasan pendulangan intan tradisional di kecamatan Cempaka, banyak tersebar di kelurahan Sungai Tiung. Kelurahan ini memiliki dua kawasan pendulangan intan tradisional yakni; Pumpung dan Ujung Murung. Pumpung terkenal karena penemuan intan sebesar telur ayam dengan berat 167 karat ditemukan pada tahun 1965. Intan tersebut diberi nama Trisakti.

Sejarah Intan Trisakti. Sebelum tahun 1965, di Cempaka tidak ada yang istimewa mayoritas penduduknya bertani, tetapi ada juga yang berdagang, berkebun dan mendulang (tidak begitu dominan). Namun suasana Cempaka mendadak berubah ketika Matsam dkk, 26 Agustus 1965 menemukan galuh (intan) dengan berat 167 karat.

Penemuan intan yang konon terbesar di dunia pada tahun itu mendapatkan perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Bukan hanya dari Cempaka ataupun kota, melainkan dikenal di seluruh dunia. Bahkan berdasarkan hasil penelitian, kandungan mineral ternyata kualitasnya sangat baik. Secara tiba tiba penemuan itu memberi ekses bagi Cempaka. Oleh sebab itu berdatanganlah para pendulang dari luar daerah Cempaka untuk ikut mengadu nasib mencari intan nan mempesona. Cempaka pun ramai menjadi buah bibir dan seakan tidak ada habisnya. Intan memang menjadi magnet yang luar biasa bagi siapa saja.

Selain itu, juga menjanjikan materi bagi penemu intan dan memberikan harapan besar untuk kenaikan status sosial, wibawa, serta gengsi pada masyarakat. Itulah yang dialami Matsam dkk. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah,mereka diberangkatkan haji lengkap dengan akomodasinya. Ketika sampai di Cempaka, mereka disambut meriah di sepanjang jalan bahkan diarak keliling kampung. Sebagai imbalanya , intan dibawa ke Jakarta. Katanya untuk menjadi milik Negara dan sebagai penggantinya, Matsam dkk dijanjikan mendapat semacam jaminan sosial dari pemerintah saat itu. Sayangnya, sampai sekarang keberdaan intan Trisakti tidak diketahui kabarnya, dimana, dan ada di tangan siapa.

Seiring dengan waktu, jaminan sosial yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, sehingga Matsam dkk pun harus rela kembali mendulang, karena dapur mereka harus terus mengepul. Penyebab utamanya adalah rendahnya pendidikan dan ketidak berdayaan masyarakat kecil untuk menuntut haknya membuat mereka jadi termarjinalkan. Meskipun demikian, masyarakat tidak mau introspeksi dari pengalaman tersebut. Kemilau intan membuat mereka lebih mementingkan si intan ketimbang pendidikan. Sungguh orientasi nilai budaya yang hanya dilihat sesaat saja.

Seakan melihat potensi yang tersembunyi, pemerintah daerah kemudian menjadikan pendulangan Cempaka sebagai salah satu obyek wisata bagi Kalimantan Selatan. Hal ini membuat semakin ramai Cempaka. Orang tidak hanya datang untuk mengadu nasib, tetapi untuk melihat begaimana cara mendulang intan. Menariknya, oleh gubernur Kalimantan Selatan. Gusti Hasan Aman didirikan Monumen Intan Trisakti di Cempaka untuk mengenang penemuan intan tersebut. Monumen yang diresmikan 11 November 1997 itu seakan menjadi saksi bisu bagaimana rakusnya manusia mempertahankan hidup.

Bagi pemerintah daerah, intan Trisakti adalah kebanggaan, karena dengan itu menjadi terkenal seantero dunia. Tetapi bagi para pendulang, monument Trisakti adalah monument kesedihan. Monumen diterlantarkan pendulang, mereka masih tetap berjibaku dengan lumpur sepanjang waktu. Bahkan, merupakan monumen kelalaian pemerintah yang tidak tanggap menggurus penyelundupan intan terbesar sepanjang sejarah itu.

Para pencari intan ini disebut sebagai pendulang. Bagi masyarakat Cempaka, mendulang merupakan pilihan hidup, karena menjadi pendulang hanya bermodalkan harapan. Apa jadinya apabila harapan sudah di depan mata kemudian hilang begitu saja? Tragedi itu pasti akan menimbulkan trauma bagi masa depan profesi pendulang intan.
Contohnya, anak-anak (terutama laki-laki), pendulang kecil ini kebanyakan masih duduk di bangku sekolah dasar kira-kira kelas 4, Sungai Tiung, Cempaka, kebanyakan bercita-cita menjadi pembelantik (pedagang perantara dari tangan pendulang intan ke pedagang lainnya). Pekerjaan membelantik dianggap lebih mempunyai masa depan dibandingkan dengan mendulang, karena selama ini para pendulang tidak ada yang bisa kaya, walaupun penemuannya menyilaukan dunia. Untuk itu anak-anak bersemangat mendulang dengan harapan mendapatkan rezeki nomplok untuk modal menjadi pembelantik.

Menjadi pendulang yang penghasilannya kecil juga sangat menguras tenaga. Mulai dari pagi hingga sore hari tubuh terpapar sinar matahari. Menurut para pendulang, apabila tidak terbiasa mendulang, sekujur tubuh akan terasa remuk dan pinggang pegal-pegal. Namun, mengapa tetap saja ada pendulang? bukankah sebagai petani lebih juga menjanjikan? Kata para pendulang yang dewasa, bertani memang mendapatkan penghasilan tetap, sedangkan mendulang biarpun tidak berpenghasilan tetap apabila beruntung akan mendapat intan yang tak terduga. Bagi mereka mendulang intan sudah mendarah daging. Mulai dari kakek neneknya, sehingga kebiasaan itu sulit diubah. Menurut mereka mendulang tidak memerlukan ijazah tinggi, tidak ada tes, tidak perlu mengisi biodata, dan tidak perlu takut ditolak. Karena syarat utamanya adalah sehat jasmani rohani. Pendidikan bukan hal yang utama, sehingga banyak dari mereka hanya lulusan SD, bahkan ada yang tidak lulus.

Menurut mereka mendulang dapat menghidupi keluarga. Jika mujur bisa mendapatkan intan, maka bisa menunaikan ibadah haji. Naiklah status sosial di masyarakat. Tanpa disadari, pendidikan yang dilupakan justru menjadi bumerang dalam mengelola hasil penjualan intan. Tidak mengherankan jika ada pendulang yang pagi miskin, sorenya menjadi kaya, dan besoknya bisa miskin lagi.

Kehidupan pendulang dimulai saat mereka bergabung menjadi anggota kelompoknya. Pagi pagi kurang lebih pukul 08.00 WITA mereka berangkat menuju pendulangan. Ketika di sana , tidak langsung bekerja, tetapi mereka singgah ke warung terlebih dahulu. Untuk yang satu ini mereka gratis, karena yang membayar adalah tetua luang (ketua kelompok pendulang). Penjaga warung mencatat transaksi dalam buku khusus. Ketika istirahat siang, mereka kembali ke warung dan makan minum sepuasnya, tidak lupa rokok dan wadai (panganan kecil). Jika cepat selesai, maka sore hari bisa pulang, jika tidak sampai malam, maka akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan oleh tetua luang.
Jika tidak mendapatkan intan hari itu, maka para pendulang tidak perlu khawatir kelaparan, karena tetua luang sangat baik hati memberikan pinjaman bagi kebutuhan keluarga. Makan minum selama mendulang tidak perlu khawatir, karena tetap mendapat jatah.
Klimaksnya ketika mendapat intan, pendulang tidak langsung mendapat bagian, karena harus dipotong sana sini. Seandainya dari intan yang diketemukan terjual 100 juta, maka para pendulang hanya mendapatkan bagian bersih 6 juta. Hal ini diketahui dari sistem pembagian tidak tertulis yang menempatkan para pendulang pada posisi tawar rendah. Harga jual dibagi dua dengan rincian 50 juta untuk pemilik modal dan 50 juta dibagi jumlah pendulang. Pembagian untuk pendulangpun tidak langsung diterima, karena harus dikurangi biaya makan minum. Sisa bersih hanya sekitar 6 juta. Paling lama satu minggu mereka dapat menikmati uang tersebut di zaman yang serba mahal ini.

Proses pendulangan intan dilakukan warga tiap hari, dari pagi hingga petang. Sedangkan, pada hari Jum’at dan hari hari besar Islam, mereka tidak mendulang intan. Selain itu, hal hal yang bersifat tak terduga, seperti longsor, banjir angin ribut. Hari hari tersebut menjadi hari libur mereka.
Dari tempat mereka berkumpul, mereka berjalan beriringan dengan membawa peralatan peralatan mendulang. Peralatan utamanya adalah lenggangan (semacam caping atau tangguk besar terbuat dari kayu). Alat ini digunakan dengan cara melenggangkan (mengayak air) di atas permukaan air untuk memisahkan pasir dan tanah dengan butiran intan.
Mereka memulai pekerjaan dengan menembak lubang galian (diperkirakan memiliki ke dalaman antara 10 sampai dengan 50 meter) dengan cara menyemprotkan air lewat pipa. Materi tanah dan batu yang terkikis di dasar lubang mereka angkat dengan cara menyedotnya menggunakan mesin. Penyedotan dilakukan oleh 3 sampai 5 orang. Materi yang tersedot disaring disebuah bangunan berbentuk menara yang diletakan di bibir lubang galian. Hasil penyaringan itulah, mereka kumpulkan dalam sebuah kolam. Kemudian dimulailah kegiatan melenggang.
Para pendulang intan bekerja secara berkelompok. Satu lubang galian dikerjakan oleh satu atau dua kelompok. Mereka menganut system abain, yaitu system bagi hasil antara pemilik lahan, pemilik mesin sedot, penggali lubang, dan pelenggang. Satu prinsip yang mereka pegang erat bersama adalah kejujuran.
Sementara lewat tengah hari, biasanya para pendulang intan dan pembelantik menawarkan intan mentah pada wisatawan yang datang. Beberapa warga menawarkan berbagai ukuran intan mentah, dengan mempersilakan calon pembeli memeriksanya lewat alat bernama kekeran. Bagi mereka yang ingin memiliki intan mentah tersebut, jual belipun bisa dilakukan langsung dengan mereka. Dengan harga yang relative murah. Akhirnya intan tersebut menjadi oleh oleh yang bisa dibawa pulang.

Waktu terus berlalu, kehidupan masyarakat Cempaka terus berlangsung. Begitu pula pendulangan intan terus dilakukan. Sudah tak terhitung ribuan, bahkan mungkin jutaan butir intan digali dari perut bumi Cempaka nan eksotis. Tidak terhitung juga korban cidera hingga meninggal gunia akibat mendulang. Tetapikehidupan tetap kehidupan yang terus berlangsung walaupun manusianya berganti generasi.

Kini kearifan budaya mendulang sudah tidak ada lagi, diganti dengan deru mesin sedot yang mengaum sangar menguras isi perut bumi Cempaka. Lubang lubang besar sisa penggalian ditinggalkan begitu saja menganga. Suasana asri dengan hamparan sawah, sungai nan jernih, dan nyanyian burung sudah tidak ada lagi. Tinggallah cerita tentang keindahan alam, kesejukan udara, dan para ibu dengan anaknya yang mencuci pakaian di sungai. Inilah ironi cerita tentang Kemilau Intan Cempaka.

2 komentar:

Alfarizi "House of Araceae" from Indonesian Wild mengatakan...

kalau saya ingin membeli intan yg masih bentuk aslinya apakah ada kontaknya?

Unknown mengatakan...

Alfarizi kl berminat beli intan yang masi bentuk aslinya silahkan hub no contak 085344752346
saya punya intan mentah siap di jual

Posting Komentar