Jumat, 28 Mei 2010

A Journey to The Land Clearing Area


Malam ini teramat gulita. Pekat meraba. Udara dingin seperti membeku, semua pada tidur. Tidur untuk masa depan. Kedua anakku tidur juga. Dengan mata terpejam. Mata itu seperti sebuah sumur. Sumur yang sejuk dan bening. Dari mata itu udara menjadi sejuk . mencipta sungai-sungai di malam hari. Rasa sejuk menggenang di dada. Angin malam membawa kesejukan. Yang melintasi kebun, sungai, sawah, dan kebaikan. Menyebar keseluruh sanubari. Putih senyap selembut doa-doa yang tak pernah putus.

Kutinggalkan sementara kedua anakku. Kusambut pagi dalam perjalannan. Aku bisu, aku termanggu. Kuberpikir, apakah mimpi-mimpi dapat diulang berkali-kali? Mataharipun menjilati sisa mimpiku yang masih ada. Yang kutemui di dalam mimpi adalah taman bunga mawar, mata dan purnama. Yang tetes embun pertamanya menyentuh kelopak bunga mawar. Berkatilah bunga mawar mekar itu. Ada bundaran terang bercahaya di langit biru. Menyingkap kabut malam. Bersama udara yang penuh wangi bunga mawar.

Cahaya pagi menyapa penuh keramahan dan kelembutan. Langit biru cemerlang digores semburat merah dilengkung langit. Tempat munculnya matahari yang selalu rutin dan teratur menyapa kita. Merupakan hadiah alam yang harus kita jaga agar seimbang.

Siang datang. Ada sepasukan burung terbang di awan. Menuju rimbunnya pohon. Tapi kenapa tidak jadi? Apakah pindah ke sarang yang lain? Apakah dahan, ranting dan daun tidak merana? Lalu menjadi luruh dan mati karena kesepian. Tak ada kicau burung. Apakah semalam baru hujan? Atau ada angin ribut? Adakah yang murka?

Petang pun datang. Dengan kesibukan di pantai. Kita akan berlayar menuju pantai seberang. Di pantai yang tak bertepi itu senyum-Mu diam, mendengarkan, suara nyanyianku yang tak berirama, seperti ombak, bebas dari ikatan kata.

Apakah belum sampai? Masih adakah pekerjaan yang belum selesai? O, ternyata malam akan turun. Menutup pantai dan mentari kembali ke peraduan. Burung laut pun kembali ke sarangnya. Dan kapal pun hilang ditelan malam.

Kenapa laut kesepian? Padahal sudah dipecahkan kicauan burung. Pasir di tepi pantai dengan gembira menerima kilau emas matahari. Kami terus bergegas, berjalan terburu-buru. Kenapa tidak mendendangkan sebuah lagu? Bersama kegembiraan alam. Kami menuju hutan untuk membuat hamparan kebun yang menghijau subur penghasil minyak nabati. Kami tidak berkata-kata, juga tidak tersenyum. Kami tak menikmati jalan lagi. Kami terburu-buru menghindari matahari yang semakin merayap ke puncak, melintasi daun-daun yang menguning, melayang-layang dibawa angin hutan.

Kami sudah sampai. Terdengar suara nyanyian di depan pondok. Nyanyian itu sampai di sudut telingaku. Siapakah yang berdiri di depan pondok itu? Tetapi kenapa nyanyian itu lama kelamaan menjadi kesedihan? Kesedihan yang bercampur dengan kepiluan mengaduk-aduk mata hati.

Saat terakhir pembersihan. Ada satu pohon berdiri sendirian. Hanya ditemani dahan, ranting, dan daun. Sepertinya dalam kesepian ia berdiri. Siapa yang datang dibawah ranting sepinya? Pohon itu tidak berani bergerak walau diterpa angin, hujan. Pohon itu tidak tau bagaimana cara menjaga agar tidak rusak. Sepertinya ia takut dalam bergerak. Kenapa yang berteduh tak jua pergi? Adakah yang tega menjamah pohon itu? Bagi pohon itu bayangan maut sepertinya selalu datang, begitu saja dari langit tak terjangkau. Di langit-langit itu, bayangan sangat angkuh dan datar bagai raksasa. Gema cengkeraman tangan-tangan besi akan selalu muncul di setiap saat, datang bagai angin pergi tanpa belas kasih.

Yang bagaimanakah cinta lingkungan itu? Atau hanya menggalihkan fungsi. Dari hutan tersier menjadi hamparan kebun yang menghijau subur penghasil minyak nabati.

Bulan muncul mengambang di langit. Memancar aura sepuh kuning keemasan. Pada gelombang awan hitam. Dan malampun semakin pekat.

0 komentar:

Posting Komentar